Oleh: Maulana Syarifudin
Setiap kali Hari Kartini tiba, kita diajak kembali mengenang seorang perempuan muda dari Jepara yang pikirannya melampaui zamannya. Raden Ajeng Kartini tidak hanya berbicara tentang kesetaraan perempuan, tetapi juga tentang pentingnya pendidikan, berpikir kritis, dan keberanian untuk mempertanyakan ketidakadilan yang mapan. Di masa kini, semangat itu menemukan relevansinya dalam medan baru: ruang digital yang penuh dengan informasi menyesatkan, hoaks, dan ujaran kebencian.
Kartini hari ini bukan hanya mereka yang berjuang dalam bidang pendidikan, hukum, atau ekonomi, tapi juga mereka yang berani melawan banjir disinformasi—terutama di media sosial. Di tengah algoritma yang mempercepat penyebaran kebohongan, keberanian untuk menyuarakan kebenaran menjadi bentuk baru dari emansipasi intelektual. Dan inilah bentuk keberanian Kartini masa kini.
Perempuan yang aktif sebagai jurnalis, akademisi, guru, content creator, bahkan ibu rumah tangga yang kritis dan peduli terhadap literasi digital—semuanya sedang meneruskan semangat Kartini. Mereka tak tinggal diam saat menemukan hoaks yang merusak logika publik. Mereka mengedukasi, meluruskan informasi, dan menanamkan nilai berpikir jernih di ruang-ruang keluarga, komunitas, hingga forum daring.
Melawan hoaks bukan sekadar soal fakta dan data, tapi juga soal keberanian moral. Sama seperti Kartini yang berani bersuara di tengah dominasi budaya patriarkal, hari ini kita melihat para Kartini baru yang berani berkata: “Ini salah. Ini menyesatkan. Ini harus diluruskan.”
Di balik layar gawai dan akun media sosial, banyak perempuan yang sedang menulis, membuat video edukatif, menyampaikan klarifikasi, atau bahkan melawan ujaran kebencian dengan empati dan logika.
Mereka adalah penjaga nalar publik. Mereka adalah penyambung semangat Kartini yang hari ini memilih medan perjuangan di dunia digital.
Di tengah gempuran hoaks, kita butuh lebih banyak Kartini: perempuan yang tidak hanya cerdas, tapi juga berani dan peduli. Karena seperti kata Kartini sendiri: “Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis gelap, terang pun datang.” Dan dalam terang itulah, nalar sehat dan literasi kritis menemukan jalannya.