Diksiana.com - Saya masih ingat betul, ketika dulu jam tujuh malam adalah waktu yang sakral. Bapak mematikan kompor, ibu duduk dengan teh panas, dan saya—anak remaja yang belum bisa melawan arus rumah—ikut larut dalam lantunan pembuka berita di televisi. Kini, di rumah saya yang lain—di dalam kepala saya sendiri—semua itu telah berubah. Sunyi. Tak ada lagi bunyi bumper berita, hanya scroll tanpa henti di TikTok atau Instagram yang jadi pengantar tidur.
Anak muda malas nonton berita? Itu bukan berita. Itu sudah realita.
Menurut Digital News Report 2023, hanya 23% anak muda usia 18–24 tahun yang masih mengakses berita dari TV atau koran. Sisanya? Mereka memilih tahu dunia lewat media sosial. TikTok, YouTube, Instagram. Bukan Kompas, bukan Detik, bukan TVRI. Apakah ini pertanda generasi yang bodoh dan apatis? Saya rasa tidak.
Yang malas bukan mereka. Yang ketinggalan zaman adalah kita—industri media.
Di tengah dunia yang serba cepat dan hiperaktif, berita arus utama terlalu pelan, terlalu serius, dan terlalu percaya diri. Televisi masih bicara seperti dosen di ruang kuliah yang percaya semua orang sedang mencatat. Padahal, anak-anak muda kini belajar dengan cara yang berbeda: melalui video dua menit, ringkasan carousel, atau bahkan shitpost yang menyindir fakta dengan gaya sarkas.
Media sosial bukan musuh, ia hanya ruang yang lebih demokratis dalam menyampaikan narasi. Ia memberi tempat untuk gaya bahasa baru, visual yang cair, dan suara-suara yang selama ini tak sempat duduk di ruang redaksi.
Masalahnya, sebagian media masih berpikir bahwa kredibilitas hanya bisa lahir dari keseriusan. Padahal, di era ini, justru yang berani ringan dan jujur yang akan bertahan.
Kepercayaan publik muda terhadap media arus utama pun menurun. Laporan Edelman Trust Barometer 2023 menunjukkan bahwa hanya 40% Gen Z di Indonesia yang mempercayai berita dari media mainstream. Mereka merasa berita terlalu berpihak, terlalu normatif, dan terlalu jauh dari realitas hidup mereka yang penuh ketidakpastian, utang kuliah, dan keresahan akan masa depan.
Maka bukan mereka yang menjauh dari berita. Tapi berita yang tak lagi tahu bagaimana cara menyapa.
Media harus belajar kembali untuk berbicara, bukan menggurui. Menyampaikan, bukan mendikte. Menyentuh, bukan menjual.
Dan mungkin, media harus kembali menjadi manusia—bukan institusi yang bicara dari menara gading.
Karena di dunia yang makin personal, manusia hanya mau mendengarkan manusia lainnya.
Rubrik "Jeda Siar" adalah ruang rehat untuk berpikir pelan di tengah bisingnya dunia media dan komunikasi. Tulisan ini bagian dari upaya Diksiana menghidupkan kembali perenungan dalam jagat media digital.