Saat Media Bertumbangan, Siapa yang Akan Jaga Demokrasi?

Ilustrasi



Gelombang PHK massal di industri media bukan lagi isu dalam ruang redaksi, tapi kini jadi pembicaraan publik. Banyak media besar mengurangi tenaga kerja, bahkan sebagian harus pamit dari lanskap pers. Sebagai jurnalis televisi yang telah 10 tahun bekerja, saya merasakan langsung betapa berat tekanan ini.

Dulu, redaksi dipenuhi semangat. Kini, banyak ruang kosong. Tekanan ekonomi tak lagi bisa ditutupi. Iklan menyusut drastis, terutama setelah anggaran promosi dari instansi pemerintah ikut “diefisiensikan”. Banyak lembaga negara lebih memilih mempromosikan programnya lewat media sosial atau platform digital asing, meninggalkan media nasional yang justru selama ini menjadi mitra strategis penyebaran informasi publik.

Di sisi lain, perusahaan teknologi global dengan algoritma dan konten viralnya mengambil porsi besar dari perhatian publik—dan pendapatan iklan. Media lokal dan nasional dipaksa bersaing tanpa daya. Padahal, biaya memproduksi berita berkualitas tetap tinggi. Liputan mendalam, verifikasi data, dan menjaga etika jurnalistik bukan pekerjaan murah.

Yang berbahaya, kondisi ini bukan cuma berdampak pada jurnalis yang kehilangan pekerjaan, tapi juga pada kualitas informasi yang dikonsumsi publik. Ketika media kredibel tumbang, ruang informasi akan diisi oleh konten yang tak terverifikasi. Disinformasi dan hoaks bisa dengan mudah memengaruhi opini publik.

Demokrasi butuh media yang sehat. Tanpa media, tak ada yang mengawasi kekuasaan, menyuarakan warga kecil, dan menjaga keberagaman suara. Kalau kondisi ini terus dibiarkan, kita tak hanya menyaksikan kemunduran industri media, tapi juga kemunduran demokrasi.

Karena itu, pemerintah perlu melihat media bukan sebagai beban, tapi sebagai bagian penting dari infrastruktur demokrasi. Kembalikan posisi media sebagai mitra strategis penyampai informasi publik. Evaluasi kembali kebijakan anggaran agar lebih adil. Regulasikan platform digital agar lebih bertanggung jawab. Dan masyarakat juga harus didorong untuk lebih menghargai karya jurnalistik—baik lewat langganan, dukungan, atau setidaknya tidak menormalisasi konten hoaks.

Kalau media jatuh satu per satu, siapa lagi yang akan menjaga demokrasi? .

Penulis : Maulana Syarifudin, Jurnalis dan akademisi di bidang Ilmu Komunikasi.